Nasionalisme Upacara Bendera

Alif Haekal
6 min readFeb 14, 2019

--

sumber foto: www.patinews.com

“Nasionalism is a sense of consciousness of being a part of a country”

Ujar saya, 7 tahun lalu dalam pidato berbahasa Inggris dalam upacara bendera rutin hari senin saat duduk di kelas 2 jenjang SMP. Sebuah tugas berat dan kehormatan untuk saya yang berusia 13 tahun. Tetapi adalah sebuah kesalahan jika kita mendefinisikan kegiatan tersebut sebagai pidato, karena yang saya lakukan hanyalah membaca sebuah teks yang telah ditulis oleh seorang guru. Tentu, saya memahami apa yang kala itu saya baca. Tetapi, saya hanya memahami apa itu nasionalisme menurut guru tersebut, yang tertulis di selebar kertas. Tidak ada pemaknaan yang lebih personal kala itu.

Sama seperti banyak generasi muda pada saat ini, saya sedikit kesulitan untuk melakukan pemaknaan terhadap nasionalisme. Banyak diantara kita ingin mengetahui tetapi sulit mengetahui makna nasionalisme, tetapi banyak diantara kita pula peduli setan akannya. Banyak orang yang memaknai nasionalisme hanya dengan pegangan: “Gua orang Indonesia, dan gua bangga”. Apakah nasionalisme yang kita anut hanyalah bentuk penanaman konsep identitas politik/ politic identity yang dilakukan melalui upacara bendera hari senin?

Bagi saya, makna nasionalisme lebih dari kutipan tersebut, dan memerlukan pencarian makna lebih, karena nasionalisme adalah suatu nyawa yang kita rasakan, bukan hanya sebuah statemen klaim yang diujarkan ketika peringatan hari kemerdekaan, atau ketika artis internasional menyebut-nyebut tentang Indonesia, atau yang lebih parah daripada itu ialah dijadikan komoditas politik. Klaim sebagai seorang nasionalis bagi saya adalah suatu hal yang mempunyai tanggung jawab moral lebih, dan tidak dapat dilakukan jika mempunyai persepsi salah akan nationalisme Indonesia tersebut.

Jadi, apa nasionalisme Indonesia itu? Nasional-isme. Nasional adalah bangsa atau negara, Isme adalah paham. Jadi nasionalisme adalah paham tentang kebangsaan atau negara. Apakah hanya itu?

Menurut KBBI, nation atau bangsa adalah kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri. Sementara dalam pengertian politik, bangsa adalah suatu masyarakat yang hidup dalam suatu daerah yang sama yang tunduk pada kedaulatan negaranya sebagai kekuasaan. Dalam kedua konteks diatas, bangsa dapat dipahami memilik batas-batas antara ‘kita’ dan ‘mereka’ dalam suatu bangsa dan bangsa lain.

Ada sebuah sebuah definisi yang menggambarkan bangsa adalah sebuah kesatuan dari kelompok yang berasal dari keturunan yang sama. Dan memang banyak negara-negara di dunia menganut asas tersebut. Tetapi jika kita menarik benang historis, Indonesia sendiri merupakan sebuah produk yang dihasilkan founding-fathers sebagai pemersatu antara berbagai macam suku dan kedaerahan yang ada di nusantara.

Benedict Anderson, seorang political scientist, di dalam bukunya “Imagined Communities” berpendapat nasionalisme sebagai : “….it is an imagined political community that is imagined as both inherently limited and sovereign”. “Nasionalisme adalah sebuah bayangan komunitas politik yang dibayangkan sebagai kesatuan terbatas dan memiliki kedaulatan.

Ben Anderson yang juga mengkaji tentang Indonesia, berpendapat bahwa nasionalisme Indonesia adalah sebuah bayangan akan sebuah bangsa yang mandiri yang bebas akan kolonialisme.

Tetapi, konsep Ben Anderson terhadap nasionalisme Indonesia itu sendiri merupakan sebuah konsep historis yang secara realitas tidak dapat dikatakan relevan sepenuhnya dengan keadaan Indonesia sekarang, apalagi dengan derasnya arus globalisasi dan pengaruh-pengaruh lainnya yang mengaburkan konsepsi kita akan nasionalisme.

Bung Karno sendiri, dalam Di Bawah Bendera Revolusi mengungkapkan bahwa: “…nasionalisme adalah suatu itikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa.” Dari kutipan diatas, saya dapat menyimpulkan bahwa nasionalisme menurut persepsi Bung Karno lebih menekankan aspek humanis dan kejiwaan manusia, daripada aspek-aspek batas geografis, antropologis, dan politis. Serta kutipan diatas dapat dipahami bahwa dasar dari nationalisme itu sendiri berasal dari rakyat, bukan institusi negara.

Tetapi, harus kita akui bahwa ada banyak miskonsepsi akan nasionalisme yang dianut oleh banyak orang. Banyak di antara kita yang terjebak pada konsep nasionalisme chauvinistik, yang berpendapat dan merasa superioritas serta keunggulan bangsa Indonesia. Rasa kebangaan yang akhirnya merubah menjadi fanatisme semu yang memberikan pembenaran irasional atas segala apapun yang menyangkut Indonesia. Superioritas diatas negara lain harus dihindari, karena seperti yang Bung Karno katakana bahwa: “Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang tidak mencari gebyarnya atau kilaunya negeri keluar saja, tetapi haruslah mencari selamatnya manusia”

Berdasar pada konsep nasionalisme kita yang bukan chauvinistik, Bung Karno menganggap bahwa nasionalisme yang berlandas pada sentimen ras bukan hanya tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, tetapi juga merupakan ‘musuh’ nasionalisme Indonesia.

Di masa sekarang, persepsi akan nasionalisme sentimen ras sangat terasa di kehidupan sehari-hari. Klaim tunggal atas kepemilikan negara oleh kelompok yang menganggap pribumi sangat marak, bahkan sering kali dipergunakan sebagai komoditas politik. Statemen “Ah dasar Cina” “Ah dasar Arab” kerap terlontar di tatanan masyarakat sekarang. Padahal, konsepsi pribumi dan non-pribumi merupakan sebuah pengkhianatan atas semangat nasionalisme.

Nasionalisme Indonesia bukan pula nasionalisme isolasionisme, yang menutup diri di dalam pergaulan bangsa-bangsa. Internasionalisme yang berbasis peri-kemanusiaan dan humanisme, dimana nasionalisme Indonesia tidak boleh menutup diri serta harus berpartisipasi aktif dalam mewujudkan ketertiban dunia sebagai mana yang tertuang di dalam pembukaan UUD 1945.

Nasionalisme hanya bisa hidup subur di dalam taman sarinya internasionalisme. Internasionalisme hanya dapat hidup subur jikalau berakar di buminya nasionalisme.” Ujar Bung Karno

Bentuk Internasionalisme Indonesia terwujud pada dilaksanakan Konferensi Asia-Afrika, dalam rangka menggalang solidaritas negara-negara Asia-Afrika pasca-kolonialisme. Kolonialisme dan Imperialisme sendiri bersifat global, maka dari itu diperlukan sebuah ‘front’ solidaritas negara-negara tersebut untuk tetap berdiri menentang.

Internasionalisme juga tidak boleh dipahami sebagai kosmopolitanisme, yaitu tatanan dunia tanpa batas-batas kedaulatan dan jatidiri sebuah bangsa.

Dengan perubahan zaman dan kondisi sosial Indonesia yang dinamis, nasionalisme tidak boleh dipahami secara dogmatis. Nasionalisme tidak boleh dipandang hanya sebagai hal yang simbolik serta sakral. Pandangan dogmatis akan nasionalisme itu sendiri hanya akan menghasilkan hiper-nasionalisme.

Pandangan-pandangan hiper-nasionalisme seperti politik identitas ‘kami-paling-nasionalis’ dan ‘kami-paling-pancasilais’ yang membuat sekat-sekat ‘kami dan kalian’ yang akhirnya menimbulkan klaim tunggal atas nasionalisme itu sendiri. Klaim tersebut dapat disalah gunakan, seperti halnya Orde Baru menggunakan Pancasila sebagai sword-and-shield menghadapi musuh-musuh politiknya.

Timbul pertanyaan apakah perlu redefinisi ataupun pengkonsepan ulang atas nasionalisme di zaman sekarang.

Menurut subjektifitas penulis, perlu adanya kritik dan penyesuaian kembali tentang bagaimana kita memandang nasionalisme. Jika kita merujuk kembali pada konsep Imagined Communities, kita perlu membayangkan kembali, apa dan bagaimana proyeksi serta harapan kita terhadap kehidupan berbangsa bernegara. Bayangan nasionalisme pada masa pergerakan atas sebuah bangsa yang mandiri dan bebas dari kolonialisme perlu diredefinisikan lagi berdasarkan tantangan zaman.

Cita-cita mulia akan hak-hak dasar hidup, kemerdekaan berbicara dan berpendapat, membangkitkan kaum yang tertindas serta tujuan kolektif masyarakat lainnya harus dijadikan landasan baru akan nasionalisme.

Ancaman terbesar dari nasionalisme pada zaman sekarang adalah globalisasi. Mengacu pada konsep global village yang dicetus oleh Marshall McLuhan yang berangkat dari pemikiran bahwa arus informasi akan sangat terbuka dan dapat diakses oleh semua orang.

Globalisasi ini sendiri dapat berdampak pada pengaburan eksistensi negara dan bangsa serta batas-batasnya. Transformasi itu terasa dengan semakin terkikisnya batas-batas, yang akhirnya menjurus pada kosmopolitanisme. Dampak selanjutnya adalah adanya penyeragaman secara universal, atau bisa disebut universalisme.

Tentu, jika kita berbicara tentang ancaman nasionalisme, bukan hanya berbicara tentang terkikisnya batas-batas negara, tetapi hilangnya identitas sosial. Menguatnya identitas-identitas lainnya, seperti keagamaan dan etnisitas bisa menjadi faktor lain.

Timbul kembali satu pertanyaan baru, apakah memudarnya nasionalisme ini disebabkan oleh kurangnya pewarisan nilai ataupun indoktrinasi nasionalisme?

Di zaman konektivitas, lebarnya akses komunikasi dan derasnya arus globalisasi, modernisasi tidak bisa dipungkiri telah memasuki segala aspek di kehidupan masyarakat Indonesia. Modernisasi ini pula mempengaruhi konsepsi kita akan nasionalisme. Lantas apakah nasionalisme dan modernisasi secara mutlak saling meniadakan?

Kita sudah sepatutnya dapat berkaca pada post-islamisme yang terjadi di Indonesia. Adanya peleburan modernisasi dan nilai-nilai islam yang konservatif, tidak menjadikan nilai-nilai Islam itu direduksi secara utuh. Malah, dengan adanya media modernisasi tersebut, penyebaran nilai-nilai tersebut dapat dilakukan secara luas dan masif.

Jika kita merujuk pada buku “Identitas dan Kenikmatan” karangan Prof. Ariel Heryanto, budaya-budaya populer seperti budaya layar bukan tidak pernah membawa nilai-nilai nasionalisme. Sebut saja film “Soekarno”, “Darah Garuda” dan film-film lain bertema nasionalisme marak muncul. Tetapi yang harus jadi perhatian adalah, apakah nilai-nilai nasionalisme tersebut tepat, ataukah hanya sebatas hiper-nasionalisme saja?

Semua analisis subjektif yang saya lontarkan membawa saya kembali pada upacara bendera pagi itu, 7 tahun lalu. Ingin rasanya kembali berada di podium, menutup teks pidato, dan menggengam microphone erat-erat seraya berujar ke barisan siswa, “Nasionalisme menurut kalian apa, sih?”.

Dan diskusi pun dimulai.

Rujukan

Anderson, B. (2008). Komunitas-Komunitas Terbayang. Yogyakarta: INSISTPress.

Hendrastomo, G. (2007). Nasionalisme vs Globalisasi. DIMENSIA.

Heryanto, A. (2018). Identitas dan Kenikmatan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Soekarno. (1964). Di Bawah Bendera Revolusi I. Jakarta: Panitia Penerbitan Buku Dibawah Bendera Revolusi.

http://www.hariansejarah.id/2017/02/nasionalisme-bangsa-india.html

http://www.berdikarionline.com/bung-karno-hubungan-perikemanusiaan-dan-kebangsaan/

--

--

No responses yet